Saya lupa apakah saat saya seumur anak saya, 4 tahun 4 bulan, sudah dituntut untuk bisa menulis seperti di atas (lihat judul). Ibu sih bilang dulu saya sudah bisa menulis sejak umur tiga tahun, tapi apakah sampai secanggih apa yang diminta dari anak saya sekarang? Tulisan latin (tegak bersambung) lagi. Haiyaaa…
Hari ini Willi ada “tes” dikte. Gosh… anak TK sudah dibebani tes. Oleh Yanty, Willi di “trial” dua kali dengan soal yang sama. Hasilnya? percobaan pertama benar 4 dari 10. Kedua benar 5 dari 10. Akhirnya dia menangis, tidak suka dapat 4 dan 5. Well, siapa sih yang suka. Anak saya masih normal kok, tidak suka dengan nilai jelek.
“Sudah nangisnya? Papa mo bicara sama Kakak. Lihat ke Papa kalo Papa lagi ngomong sama kamu.” Dia melihat saya, sambil masih terisak.
“Kenapa nangis?”
“Willi sedih”
“Karena?”
“Karena Willi nggak bisa, tulisan Willi salah”
“Emang, kalo di sekolah nulis salah, Willi nangis juga?”
“Nggak”
“Lha kok kalo di rumah nangis?”
“Soalnya yang salah dihapus sama Mama”
“Kan tulisan Kakak salah. Kalo salah berarti nggak kepake. Kalo nggak kepake berarti dibuang, dihapus. Ngerti?”
“Ngerti”
“Tahu kenapa bisa salah?”
“Tahu”
“Karena?”
“Willi tidak belajar”
“Nah, mau belajar lagi nggak?”
“Mau”
Lalu dia mengulanginya lagi bersama Yanty. Well, karena sudah capai menangis, akhirnya hanya berhasil menulis 3 dari 10, plus memangis lagi. Yanty mengangguk ke saya, tanda sudah selesai. Lalu saya gendong (24 kilo!) ke kursi depan
“Kok nangis lagi? Buat apa?”
“Iya… Willi sedih”
“Ya sudah. Besok, di sekolah nggak nangis ya”
“Iya”
“Besok, kakak kerjain yang bener ya”
“Iya”
“Nggak nangis ya”
“Iya”
“Nah, sekarang pray, minta Tuhan tolong Kakak. Ikutin Papa ya”
“Iya…”
Lalu kami berdua berdoa. Minta tolong Tuhan untuk memampukan Willi, buat Willi tenang, biar bisa mengerjakan tugas sebaik-baiknya.
Saya dan Yanty tahu benar, Willi sudah berusaha semampunya. Sekarang tinggal terserah Dia.
Once again… I should say… how sad the reality is. TK = Taman Kanak Kanak. Taman is place where little angels wandering around, running here and there, and the air is filled by joy and laughter. I never realize when the laughter faded and turned into tears of frustration.
We tried hard to accelerate our child’s ability. Push him hard. Make them forget how happy the childhood should be.
What we should afraid is, if one day our child lost his interest in learning. Or worst, he stop to learn.
We will envy how Finnish children enjoy their time in school. There’s no ‘tinggal kelas’ no ‘Ujian Nasional’.
Every children is unique. Why we approve this one size fits all system to our child, our dearest one? Is the government standard the only system we should submit?
We, adult, hate it when compared to other people. Then, why we do that to our children? What happened to us?
Why, why, and why?
May be you should consider to put your son in another school/institution who understand him better.
Uang bisa dicari, tapi masa yang sudah lewat tidak bisa kembali.
Sorry for being so ‘realistic’.
Jujur, kalo aku bertetangga sama kamu, aku bakal nitipin Willi ke rumahmu, tuition fees will be transfered to your account instead.
Dengan pilihan kami sekarang, yang bisa adalah memberikan yang terbaik buat Willi di rumah. Sekolah? Biarlah jadi tempat dia menempuh ujian hidup.
Btw, tes dikte kemarin Willi akhirnya dapat 6 of 10.