Berkutat 10 tahun lebih di perusahaan kecil membuat saya bukan hanya tahu A sampai Z, tapi mengerjakannya juga. Untung saya belum jawil-jawil pembukuan karena topik ini dikerjakan oleh perusahaan lain (outsourced). Jumat lalu saya mengusulkan dengan agak memaksa pada manajemen untuk melakukan perubahan. Niatnya sih sudah dari tahun lalu, tapi selalu saja kepentok dengan yang namanya “keberanian”.
Nah, Jumat kemarin entah kenapa, habis mencopot earphone dan mengangkat kepala, ternyata di kantor sudah tidak ada orang sama sekali. Keluar sholat dan makan siang. Tumben saya ditinggal sendiri. Lari sebentar meninggalkan kantor tak terkunci untuk ke kamar kecil, lalu kembali buru-buru. Masih kosong melompong, di depan pintu ruang direktur, saya melongok sekilas untuk memastikan. Eehh… ternyata Bapak sudah ada di dalam, dan tepat melihat ke arah saya. Dipanggil-lah saya, dan percakapan dua jam itu terjadi.
Saya mengeluarkan uneg-uneg saya, kekhawatiran saya tepatnya. Siapa sih yang tak ingin maju (baca: naik gaji)? Saya munculkan ide-ide saya dengan risiko terparah: dipecat karena melangkahi daerah otorisasinya. Well, daripada tak ada perubahan. Keberanian saya sebenarnya tercutik oleh kata-kata Mario Teguh di salah satu TV lokal, “masa krisis adalah masa yang paling tepat untuk melakukan perubahan”. Great, & I did that. Tiga puluh menit pertama saya nyerocos di hadapan Bapak, setengah jam berikutnya baru tersadar, “What the heck I’m doin’?” Sudah terlanjur, saya berbasah-basah sekalian. Sesekali saya amati perubahan mukanya. Hm… sepertinya saya selamat dari pemecatan.
Hari ini, hasil percakapan itu disosialisasikan. Meski lewat email, tapi menunjukkan adanya keinginan untuk berubah. Saya tetap akan mempertaruhkan status karyawan saya untuk memperhatikan proses perubahan ini. Lebih cepat lebih baik bukan? Sementara saya tetap setia membaca JobsDB.
Komentar