Risikonya Jadi Orang baik-Baik di Jakarta

Sabtu kemarin, seharusnya menjadi hari yang sempurna. Pagi-pagi kami sudah bersiap untuk fun day di RedTop! Yup, ultah Mama mo dirayain di Awong Pecenongan, dan spend a night rame-rame di daerah situ juga. Jam satu siang berangkat dari Surya, bertujuh. Ugh… shock Espass kalo fullload begini selalu jadi empuk dan menyenangkan. Naik tol Kapuk, turun Pluit, lalu pilih lewat Tomang dan nanti tembus Juanda. Tomang Raya, Caringin, Balik Papan, saya lewatin pelan-pelan, menikmati cuaca super cerah yang hari-hari belakangan ini jarang nongol di Jakarta. Jalan lengang, beberapa anak SMP bubaran sekolah terlihat di sekitar BCA. Dan sesuatu terjadi…
Espass saya di lajur tengah, kiri kanan saya kosong karena baru saja start dari lampu merah, dan kebetulan saya start duluan. Tiba-tiba dari kerumunan anak SMP itu muncul sepeda ala BMX dengan tiga (buset) anak di atasnya. Satu duduk di palang tengah, satu duduk di sadel mengayuh, dan satunya lagi berdiri di as belakang, dikayuh oleng menyeberangi jalan. Kasihan tuh sepeda, bukan lagi fullload seperti Espass saya, tapi sudah keterlaluan overload. Saya mulai melambat, rada kesal juga karena mereka dengan seenaknya menyeberang jalan tanpa merasa mengganggu kendaraan lain. Tiga meter di depan Espass, saya membiarkan mereka melintas. Kesal juga menunggu, saya reflek menekan klakson. Mereka masuk ke jalur tiga, di kanan saya, dan… brak…!!! Tiba-tiba dari belakang muncul sedan silver sport melaju kencang. Menghantam roda depan sepeda dan membuat ketiga pengendaranya melayang lima meter ke depan Espass. Sampai di sini semuanya berlangsung sangat cepat.
Yanty teriak-teriak minta saya turun, sedangkan saya sudah lari keluar mencoba menolong (sempat juga menyalakan lampu hazard agar mobil belakang maklum). Ada satu yang parah. Tergeletak di jalan tak bergerak. Teman lainnya setelah sadar langsung lari mendekat. Yang lain meminggirkan sepedanya ke trotoar. Saya mendekat, berlutut, dan melihat keadaan. Nafasnya memburu, matanya sudah putih, luka luar terlihat hanya di lutut kirinya saja. Temannya mengangkatnya ke pinggir. Saya berdiri dan melihat beberapa pengendara motor berhenti menonton (beneran nonton). Saya teriak ke salah satu yang paling depan, “Kamu! Lihat mobilnya kan? Kejar!” Perlu dua-tiga kai mungin saya mengulang teriakan itu sebelum dia melaju. Saya ragu untuk mengejar juga seperti yang beberapa orang usulkan (atau perintahkan? saya tidak peduli) atau memberi bantuan sebisanya ke anak ini. Saya putuskan yang kedua. Saya mendekat ke anak itu, ditelentangkan di atas trotoar. Masih shock, belum sadar, dan saya sendiri bingung mau apa. Di samping ada anak SMP mengikuti langkah saya: menyetop motor lain minta kejar mobil tadi. Saya hampiri, “Dik, kamu tadi lihat mobilnya?” “Iya… iya… lihat”, jawabnya dengan semangat. “Kalo gitu kamu naik ke boncengan, kejar juga. Ayo!” Gee… sedetik bengong dia, tapi akhirnya naik ke boncengan motor itu dan melaju juga.
Hem, sudah banyak yang berkerumun, sudah banyak yang ‘sepertinya’ mencoba menolong. Saya tidak bisa mendekat ke anak yang tertabrak tadi. Saya putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Eh, tiba-tiba ada bapak-bapak yang menggedor Espass dan dengan nada marah, “Angkat dulu dong… bantuin kek ke rumah sakit…”. “Tapi mobil saya penuh Pak…”. Yanty melihat dia supir taksi. “Turun… turun…!!!” teriaknya. Wah, enak betul suruh turun Mama dan lainnya yang ada di belakang. Emosi saya naik lagi. Malas sebetulnya membentak bapak ini, tapi kata-kata sudah di ujung bibir, saya keluarkan saja, “bukan saya yang nabrak Pak! Saya cuman mau nolong! Nggak usah marah-marah gitu ke saya!”. Sambil mencaci saya buka pintu samping, minta Mama pindah belakang agar mereka bisa masuk. Dan… lho… kok tiba-tiba saya dicuekin. Saya menoleh, dan tahu sebabnya. Sudah ada polisi di situ. He… turun pamor saya rupanya. Ya sudah, saya kembali ke mobil dan melaju ke RedTop sambil sebelumnya berpesan ke salah satu dari kerumunan itu yang saya anggap masih bisa menerima saran orang, “Pak, lebih baik bawa pakai taksi atau apa ke Tarakan”. Lalu masa bodo dengan semuanya. Saya tinggal.
Di jalan Juanda, dekat perempatan Harmoni, kami melihat kerumunan orang. Oh, ternyata tertangkap. Ah, ya sudahlah. Saya terlanjur antipati sama kejadian itu. Saya tetap melaju. Belok kiri ke Pecenongan, lalu masuk parkiran RedTop. Check in, istirahat sebentar, lalu berenang! (Gee… sudah dua tahun saya tidak berenang).
Memang agak berbahaya jadi orang baik-baik di Jakarta. Terkadang gaya acuh bisa menyelamatkan diri kita sendiri. Ah, tau’ deh. Saya jadi berpikir dua kali untuk melakukan hal yang sama seperti kemarin. Tapi siapa tahu…