“Kamu ibadah di mana sih”? tanyanya.
“Ibadah dua dong” jawabku sambil bingung.
“Tapi kadang-kadang” balasnya.
“Ah nggak lah! Kok bisa sih”? aku dah mulai ada rasa nggak enak…
Percakapan tadi aku dapat saat mendaftarkan Willi “Penyerahan Anak”. Nada mendakwa itu terdengar jelas sekali di kupingku. Nggak ada jeda untuk penjelasan, nggak ada jeda untuk mendengarkan. Ada apa sih dengan orang-orang di Blok D2 sehingga ada nada antipati dengan orang-orang PPS. Apa hanya ke aku saja?
*Brutal Truth Mode On*
Arman diminta pakai setelan jas setiap datang ibadah, dan diminta duduk di depan karena dia koordinator Gerakan Pria Sejati di Jakarta Barat, meskipun sama sekali tidak terlibat di dalam operasional kebaktian (sama seperti kadet yang kemana-mana diharuskan pakai seragam, meskipun saat tidur).
Sandera diminta untuk tidak datang lagi ke pertemuan ibadah karena “sesuatu hal”. Dan sesuatu itu tidak diketahui apa, tidak diberitahukan ke yang bersangkutan. Hebat…
Pelayanan Pria Sejati tidak diikutsertakan dalam topik Doa Malam jumat sementara pelayanan lainnya disebutkan satu-satu secara detil. Waktu ditanya kenapa, pendoanya hanya bilang, “…memang tidak…”.
…dan barusan aku didakwa jadi Jemaat Kadang-Kadang, oleh seseorang yang selalu aku lihat tiap kali aku datang ke ibadah.
*Native Mode Restored*
Ups, mungkin banyak orang panas telinga kalo baca tulisan di atas. Kenapa ya? Apa hanya Tuhan yang tahu? Apa karena aku saja yang terlalu sensitif (‘coz we’re pregnant now)… Ah… Ko David pernah bilang, untuk gereja yang besar pasti akan ada aturan-aturan yang baku (kalau tidak mau disebut kaku) untuk mempertanggungjawabkan kelakuan setiap jemaatnya. Seperti aturan untuk ikut SPK dan BPN dulu sebagai persyaratan bisa diberkati pernikahannya dalam gereja, lalu setiap pekerja harus sudah ikut SPK dan selalu aktif di komsel. Semuanya itu pasti ada tujuannya, yang kadang kita tidak bisa memahami. Apa sosialisasinya kurang? Apa memang menghindari sosialisasi? Gee… Church birocracy… and I stuck in it.
Well, untuk kasusku di atas soal jadi Jemaat Kadang-Kadang, mungkin sudah saatnya aku juga SMS ke orang itu setiap aku berhalangan datang ke ibadah. Yah, biar dia juga tahu aku ke mana. Hem… perlukah? Apa SMS ke Arman, ke Chosenlight, ke Papi nggak cukup yah? Apa sekali lagi aku yang sedang super duper sensitif karena kita sedang hamil?
the beauty about living with Jesus bro! but in HIM, those things are only peebles, be strong!
bro.. mengutip Franky: “Anak gw udah diserahin ke Tuhan Yesus kok… tapi emang belom diserahin ke Sekbar” .. heuheuheu…
cuex ajah… orang laen ga berhak menghakimi kita kok
Jadi inget dulu waktu pertama bertobat setengah mati menentang ‘peraturan-peraturan tradisi’. Semakin nyleneh kelakuan kaya’nya kuereeeen gitu, apalagi kalau sampai dibenci orang tua rasanya sangat kudus hehehe…
Trus semakin tua, apalagi setelah tau kalau Nala Widya seorang tokoh panutan jaman dulu ternyata ikut gerakan kharismatik gara2 sakit hati ama papa-nya (tp udh bertobat sekarang), apalagi setelah jadi orang tua… wah, kok kaya’nya jaman dulu itu sangatlah tidak appropriate hhehehe… (meskipun some experience bener2 mengubah hidup)…
So, kasih masukan aja neh, kalau bisa ikutin aja ‘peraturan-peraturan’ itu, gak ada salahnya and doesn’t hurt nobody kok, as for me sebenernya jg lucu sih liatin temen2 pake jas hhehehe.. kok kaya’nya formal banget, tapi siapa tau yg kaya’ gitu masih dibutuhkan terutama bagi jemaat2 senior?
Gondok seh mungkin, bisa rasain juga tuh ‘keterlaluannya’ orang2 🙂 balaslah kejahatan dengan kebaikan *ROTFL* hueheueheuehueheue