“Yan, elu bisa tungguin di CIkini ga, ambulannya dah brangkat”
“Mo nunggu sampe jam brapa? Gue mesti ngurus anak-anak gue, kan ga ada pembantu”
“Ya udah! Ga usah!!!”, telepon ditutup dari sisi sana. Kemudian beberapa SMS istri saya ke mereka pun tak ada tanggapan. “Lagi marah semua kali sama Eng” curhatnya pada saya. Saya hanya terdiam.
Kasih itu berkorban. Istri saya memang punya kerjaan cukup berat di rumah. Karena tidak ada pembantu, maka praktis seluruh pekerjaan rumah dan anak-anak kami kerjakan berdua dengan istri sebagai komandan. Tanpa dia, saya harus dapat “memo panduan” dari dia untuk mengurus semuanya. Kalau dia memprioritaskan ngurusin anak-anak daripada menunggu ambulan yang berangkat dari Cirebon dan nyampe ke Cikini nggak tahu kapan, mestinya maklum dong sodara-sodaranya. Lagipula masih ada sodara lain yang bisa kok. Well, itu sih di satu sisi.
Sisi lainnya, tahu nggak siapa yang memble? Ya suaminya!!! Hahaha…!!! Ngaku dah, saya nggak pernah perform well untuk urusan masak, ngepel, dan yang terparah bantuin anak-anak belajar. Nyapu lantai, cuci baju (pake mesin tentunya), gosok baju, mandiin anak, dan benerin rumah OK lah. Tapi kalau soal guide anak-anak untuk belajar, nyerah duluan. Ujung-ujungnya pasti marah-marah. Istri saya tahu itu, dan anak-anak sedang masa ulangan harian, makanya dia pilih di rumah daripada di Cikini. Coba kalau saya bisa, pastinya dia bakal pilih ke Cikini dengan hati tenang.
MOS: gimana caranya biar jadi “bapak pengajar yang baik di rumah buat anak-anak kita sendiri” ? Sharing dong!
Komentar