Nama “Daniel” dipanggil “Kuda Nil”… Nama “Kathryn” dipanggil “Keriting”… dan masih banyak lagi alias-alias di sekolah ini. Sepertinya para guru juga membiarkannya, terlihat dari pencantuman nama-nama itu di Buku Tahunan, yah, paling tidak di kelas-kelas akhir (6, 9, 12).
Nama panggilan, atau julukan, waktu dulu sering dipakai untuk menyindir atau mendiskriminasi seseorang. Seperti “Ndut”, “Kribo”, sampai “Cina”. Cuman kalau julukan (misal) “Cina” itu dipakai di lingkungan mayoritas Cina, hasilnya jadi beda. Punya julukan berarti diterima di komunitas. Punya julukan berarti “di atas rata-rata”.
Sabtu lalu berkesempatan “hang out” dengan teman-teman Willi setelah mereka bermain di Kidzania. Ngobrol sambil makan memang bisa membuka kecanggungan, sekedar memastikan si Vincensius tetap cuek waktu disorakin, di dalam Kidzania, sama teman-temannya, “Ingus…! Ingus…! Ingus…!” 😀
P.S. 4 adults, ngawal belasan anak kelas 3 SD: capeee… beuh…
He he dulu waktu SD julukan saya BEBEK pak :D, gara2 panggilan saya Ansyah diolok2 jadi ANGSA dan akhirnya jadi BEBEK
Tambahan alias teman-teman saya di SMA yang mirip dengan nama aslinya:
* Bajak -> Banyak (bahasa Jawa untuk angsa)
* Dede -> Pak Dhe
* Tri Pujianto -> Triplek
* Agung -> Sengun
* … siapa lagi ya …