Saya dan SARS CoV-2

Catatan: Tulisan ini sepenuhnya pemahaman saya (yang tidak memiliki latar belakang ilmu kesehatan) semata dari baca sana sini dan tanya sana sini. Kalau perlu referensi bisa check ke tenaga medis yak. Info resmi pemerintah terkait SARS CoV- 2 ada di https://covid19.go.id. Saya nulis untuk catatan saya sendiri.

Karena kemarin sempat “ngopi” bareng temen kantor yang ternyata OTG, saya jadi orang yang terindikasi terpapar SARS CoV-2 (suspect), mau ga mau melakukan test juga akhirnya. Sudah wanti-wanti ke petugasnya, “lubang hidung yang kiri ya Pak, yang kanan sering mimisan”. Teman kantor yang sudah dua kali diswab, cerita kalau di RS. A ga brasa, kalo di RS. B berasa… Hahaha…

Test PCR dan test Rapid Antigen, keduanya ambil sampel dengan cara swab hidung dan mulut. Trus apa bedanya? Ini hasil rangkuman obrolan saya dengan adik yang berprofesi dokter, plus dapat kesempatan beberapa kali  tugas melakukan swab.

Layanan drive thru test SARS CoV-2 salah satu RS di Jakarta.

Test Rapid Antigen itu mendeteksi virusnya, dan hanya memberi hasil positif pada kasus aktif. Aktif berarti pasien terpapar SARS CoV-2 dan bisa menularkan ke orang lain. Kalau pasien sudah sembuh dan ditest Rapid Antigen, akan memberikan hasil negatif. Test PCR itu mendeteksi RNA (semacam DNA) virusnya, dan memberi hasil positif pada kasus aktif, dan tetap memberi hasil positif walau pasien sudah sembuh dan tidak bisa menularkan ke orang lain. Test PCR tetap akan mengeluarkan hasil positif walau di badan pasien tinggal serpihan-serpihan virus yang sudah mati (mati = ga bisa nularin orang lain), dan akan memberi hasil negatif pada pasien jika jejak virusnya benar-benar sudah tidak ada.

Jadi, kalau ada suspect baik tanpa gejala ataupun dengan gejala, sepertinya cukup ditest dengan Rapid Antigen. Why? Karena Rapid Antigen mendeteksi ada/tidak nya virus di dalam tubuh seseorang.

Cumaaannn, test Rapid Antigen itu akurasinya lebih rendah dari PCR. Test tersebut bisa memberikan hasil yang salah. Contoh, jika ada orang test Rapid Antigen dan hasilnya positif, lalu dia test ulang dengan PCR dan hasilnya negatif, berarti test Rapid Antigen nya pas kebetulan ga akurat, memberikan hasil false positive. Beda lagi misal ada orang test Rapid Antigen hasilnya negatif, trus dia iseng test PCR dan hasilnya positif. Nah kasus seperti ini perlu ditelaah lagi dengan tes ulang. Bisa jadi dia sebelumnya OTG (terpapar virus tapi ga nyadar karena ga ada gejala sama sekali) dan sekarang sudah sembuh, ga nularin lagi, tapi serpihan virusnya masih ada. Ataaauuu… test Rapid Antigennya yang ga akurat dan dia memang sedang jadi pasien aktif (definisi aktif lihat di paragraf atas ya). Soal keakurasian test Rapid Antigen bisa dibaca di web CDC. Singkatnya, test Rapid Antigen sensitivitasnya hanya 41,2% jika ditest pada suspek tanpa gejala, sementara sensitivitasnya 80% jika ditest pada suspek bergejala.

So, kalau mau yakin ya lakukan test PCR seperti yang saya pilih kali ini. Tapi kalau mau test Rapid Antigen pun juga ga masalah mestinya, terlebih buat yang bergejala. Selain ngirit (karena perlu dilakukan secara periodik), hasilnya instan (hanya 30 menit). beberapa teman yang ikutan “ngopi” bareng ada yang ambil test Rapid Antigen.

Perlu diketahui, pada pedoman Kementrian Kesehatan, test PCR itu hanya dilakukan pada pasien dengan gejala berat. Inget, yang ada akses ke layanan test PCR dengan mudah itu kalau ga salah hanya di Jakarta dan sekitarnya. Di kota tempat adik saya bekerja saat ini, test PCR keluar hasil paling cepat 6 – 7 hari! Bandingkan dengan Jakarta yang menawarkan hasil dalam 6 jam.

Nah itu tadi soal test PCR dan test Rapid Antigen. Sekarang ngobrolnya geser ke vaksin karena teman sayayang OTG itu sudah siap-siap beli tiket liburan ke Bali. Di bawah ini copas tulisan adik saya:

Vaksinasi sebetulnya bukan tidak perlu bagi penyintas (pasien SARS CoV-2 yang sudah sembuh). Pada penyintas, antibodi akan turun dalam waktu beberapa bulan. Hal ini terbukti dengan adanya kejadian reinfeksi. Oleh karena itu vaksin tetap diberlakukan pada penyintas juga. Hanya saja saat ini diberlakukan prioritas. Saat vaksin masih terbatas, maka penyintas dianggap masih memiliki antibodi untuk beberapa bulan ke depan (beberapa ilmuwan memprediksi bisa bertahan sampai 2 tahun). Jd vaksinasi diprioritaskan pada orang yang belum pernah terpapar. Atau dengan kata lain dalam tubuhnya belum ada antibodi terhadap SARS CoV-2. Ke depan, saat vaksin sudah mencukupi dan orang yang belum pernah terpapar sudah divaksinasi, maka para penyintas pun akan diberi vaksinasi.

Catatan: sekali lagi, baca Catatan saya di paragraf paling atas yaaa…

Referensi: